Senin, 28 Juli 2014

Puisi "Re....."



Re.....


Re.....
Perhatikan embun di dedaunan saat fajar mulai menyingsing. Ada kekecewaan di sana. Seperti aku, daun yang tak pernah marah kepada matahari.

Re.....
Sepertinya kau tak paham tentang perumpamaan tadi. Kau regas segala pucuk pengharapan yang tadinya mekar, kini hanya tersisa ranting dan batangnya yang berdiri lesu.

Puisi "Kisah yang Berwajah"



Kisah yang Berwajah


Angin malam itu membawaku melihat rindu,
menyeretku ke dalam ruang yang berwajah.
Membuka lembar demi lembar halaman kenangan.
Menemukan sebuah kisah yang berwajah.

Rabu, 23 Juli 2014

Cerpen "THR"

           
THR

            Setiap malam sebelum tidur aku selalu berandai-andai tentang kehidupan yang indah bergelimang harta. Namun sayang, itu hanya bisa kurasakan lewat bunga tidurku. Salah satu Penderitaan yang telah menyelimutiku selama masa mudaku adalah kurangnya jatah bermain bersama teman-teman sebayaku. Belum lagi saat malam tiba, aku harus merawat bapak yang terbaring sakit di bilik peristirahatannya. Sudah hampir setahun bapak bersama penyakit strokenya.
Sejak lulus SMP aku tidak melanjutkan sekolah karena kurangnya biaya. Pendapatan ibu sebagai pelayan di rumah makan hanya bisa buat makan sehari-hari dan biaya sekolah kakak. Apalagi bulan ini ibu tidak bekerja karena bulan Ramadhan. Itulah yang membuatku kini bekerja sebagai kuli bangunan. Berharap bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan obat bapak. Setiap pulang kerja dan melihat bapak masih hidup meski hanya berbaring dan sulit bergerak, sudah cukup untuk menyimpul kembali senyumku.   
            Kali ini aku muncul di rumah menjelang berbuka puasa. Hujan sore ini membuatku pulang sepetang ini. Kulihat ibu sedang menyiapkan hidangan berbuka. Kedatanganku mengagetkannya dan dengan cepat ia membasuh kedua matanya.
“Ibu kenapa menangis?” Tanyaku sambil memegang pundaknya.
“Ibu tidak apa-apa. Itu air hujan yang menetes ke mata ibu.” Cetusnya dengan senyuman sambil mengelus pundakku.

Sabtu, 21 Juni 2014

Cerpen "Lamunna"




Lamunna

Lamunna memberontak dan memukul-mukul mulutnya setelah kejadian yang menimpa dirinya juga ayahnya dua tahun silam. Sungai yang lumayan jauh dari rumahnya setelah melewati persawahan, perkebunan singkong dan pisang adalah tempatnya biasa berkeluh dan meratap karena ketidakadilan Tuhan atas dirinya. Apalagi sejak kejadian itu, ia selalu meronta dan memukul-mukul mulutnya apabila sore mengetuk kampung Galunggung.
Ayahnya seorang penjudi tapi berbeda dengan penjudi lain di kampung Galunggung. Ia ayah yang baik dalam keluarganya. Ini hanya terjadi dua dari tiga puluh ayah penjudi yang baik dalam berkeluarga di kampung Galunggung. Lamunna yang  sudah berusia enam belas tahun masih belum tahu kalau ayahnya adalah seorang penjudi. Ia selalu dibelikan boneka hampir setiap minggunya jika hari pasar di kampung itu. Kini bonekanya sudah berjumlah puluhan dan disimpan begitu saja di atas kasur Lamunna.
“Kita harus menjual motor ini. Jika tidak, aku akan dibunuh.” Sahut Patolla sambil memegang kedua pundak istrinya.

Minggu, 01 Desember 2013

Puisi "Rinduku Meluap Tak Menguap"





                                    Rinduku Meluap Tak Menguap

 
kuingin berburu rindu
agar kau tak lagi menanyakan kabar apa dariku
kuingin berburu rindu
agar kau tak lagi menanyakan lama kita tak bertemu

kuingin kita berburu rindu
agar pertemuan kita terbingkai lembut menuai kesan
kuingin kita beradu rindu
agar kau tahu rinduku meluap tak menguap





10 November 2013

Jumat, 26 Juli 2013

Anak Bawang




Terkadang hidup ini hanya kepura-puraan
Tersenyum tapi nyatanya sakit mencekik
Dunia ini sudah diatur sedemikian rupa
Takdir bukan nasib
Semuanya bisa kita jebol
Apa yang kita inginkan bisa tercapai
Dengan usaha dan doa
Asal kekangan tak membayang
Manfaatkan SDM kita
Ini hanya masalah nasib, bukan takdir


Gowa, 26 Juli 2013


Sabtu, 20 Juli 2013

Puisi "Lambaian Tanganmu Kutebak"



Lambaian Tanganmu Kutebak


lambaian tanganmu di sudut gedung
merasuk secuil hal manis ke gerbang hati
bertanya keheranan untuk tidak terjebak

“Kaukah itu? Aku masih mengada”
ketidakberdayaan pikiran untuk menerawang
namun mata hati menangkap sketsanya

kau berjalan dari celah pemisah gedung
menembus sekumpulan hujan hingga pelangi pun tak berdaya
aku terbeliak akan tingkahmu

di hadapanku kau berhenti
“Aku berhasil menebak”
lambaianmu bermaksud untuk menemanimu hingga hujan reda



Gowa, 20 Juli 2013