Lamunna
Lamunna
memberontak dan memukul-mukul mulutnya setelah kejadian yang menimpa dirinya
juga ayahnya dua tahun silam. Sungai yang lumayan jauh dari rumahnya setelah
melewati persawahan, perkebunan singkong dan pisang adalah tempatnya biasa
berkeluh dan meratap karena ketidakadilan Tuhan atas dirinya. Apalagi sejak
kejadian itu, ia selalu meronta dan memukul-mukul mulutnya apabila sore
mengetuk kampung Galunggung.
Ayahnya seorang
penjudi tapi berbeda dengan penjudi lain di kampung Galunggung. Ia ayah yang
baik dalam keluarganya. Ini hanya terjadi dua dari tiga puluh ayah penjudi yang
baik dalam berkeluarga di kampung Galunggung. Lamunna yang sudah berusia enam belas tahun masih belum
tahu kalau ayahnya adalah seorang penjudi. Ia selalu dibelikan boneka hampir
setiap minggunya jika hari pasar di kampung itu. Kini bonekanya sudah berjumlah
puluhan dan disimpan begitu saja di atas kasur Lamunna.
“Kita harus
menjual motor ini. Jika tidak, aku akan dibunuh.” Sahut Patolla sambil memegang
kedua pundak istrinya.