Sabtu, 21 Juni 2014

Cerpen "Lamunna"




Lamunna

Lamunna memberontak dan memukul-mukul mulutnya setelah kejadian yang menimpa dirinya juga ayahnya dua tahun silam. Sungai yang lumayan jauh dari rumahnya setelah melewati persawahan, perkebunan singkong dan pisang adalah tempatnya biasa berkeluh dan meratap karena ketidakadilan Tuhan atas dirinya. Apalagi sejak kejadian itu, ia selalu meronta dan memukul-mukul mulutnya apabila sore mengetuk kampung Galunggung.
Ayahnya seorang penjudi tapi berbeda dengan penjudi lain di kampung Galunggung. Ia ayah yang baik dalam keluarganya. Ini hanya terjadi dua dari tiga puluh ayah penjudi yang baik dalam berkeluarga di kampung Galunggung. Lamunna yang  sudah berusia enam belas tahun masih belum tahu kalau ayahnya adalah seorang penjudi. Ia selalu dibelikan boneka hampir setiap minggunya jika hari pasar di kampung itu. Kini bonekanya sudah berjumlah puluhan dan disimpan begitu saja di atas kasur Lamunna.
“Kita harus menjual motor ini. Jika tidak, aku akan dibunuh.” Sahut Patolla sambil memegang kedua pundak istrinya.