Lamunna
Lamunna
memberontak dan memukul-mukul mulutnya setelah kejadian yang menimpa dirinya
juga ayahnya dua tahun silam. Sungai yang lumayan jauh dari rumahnya setelah
melewati persawahan, perkebunan singkong dan pisang adalah tempatnya biasa
berkeluh dan meratap karena ketidakadilan Tuhan atas dirinya. Apalagi sejak
kejadian itu, ia selalu meronta dan memukul-mukul mulutnya apabila sore
mengetuk kampung Galunggung.
Ayahnya seorang
penjudi tapi berbeda dengan penjudi lain di kampung Galunggung. Ia ayah yang
baik dalam keluarganya. Ini hanya terjadi dua dari tiga puluh ayah penjudi yang
baik dalam berkeluarga di kampung Galunggung. Lamunna yang sudah berusia enam belas tahun masih belum
tahu kalau ayahnya adalah seorang penjudi. Ia selalu dibelikan boneka hampir
setiap minggunya jika hari pasar di kampung itu. Kini bonekanya sudah berjumlah
puluhan dan disimpan begitu saja di atas kasur Lamunna.
“Kita harus
menjual motor ini. Jika tidak, aku akan dibunuh.” Sahut Patolla sambil memegang
kedua pundak istrinya.
Biasanya
malam-malam Paima dihiasi oleh simpul senyum suaminya yang datang sehabis
bermain judi. Tapi kini malamnya kalut. Paima hanya bisa menangis mendengar perkataan
suaminya. Dadanya sesak. Kecemasannya atas pekerjaan suaminya kini benar-benar
terjadi. Suaminya kalah judi. Ini baru pertama kali ia kalah dalam bermain judi,
sisanya menang terus. Itulah ia bisa membeli sepeda motor. Tapi kini Paima
hanya bisa pasrah atas musibah yang diderita oleh suaminya.
Awan membuka
tabirnya. Kini sore bergemilang hingga ke teras rumahnya. Saat Paima duduk
cemas memikirkan nasib suaminya yang pergi dengan motornya pagi tadi, Lamunna datang menanyakan keberadaan ayahnya.
Ia sampai menggoyang-goyangkan badan ibunya karena belum juga memberi tahunya.
Tapi ibunya menjawab dengan gerakan tangan yang sudah menjadi bahasanya mereka
berdua yang maksudnya tidak tahu kenapa ayahnya belum juga pulang. Kemarin pagi
sebelum berangkat, ayahnya memang sudah berjanji untuk mengabulkan permintaan
Lamunna yang hanya sekadar meminta dirinya untuk dibonceng berkeliling kampung.
Tapi ayahnya tak kunjung datang. Lamunna kesal, ia melampiaskannya dengan
berlari ke tempat yang biasa ia berkeluh-kesah atas ketidakadilan dirinya dengan
perempuan lain. Ibunya tidak mengejar. Ia sudah biasa melihat Lamunna lari ke belakang
rumahnya untuk menuju sungai tempatnya melampiaskan kekesalannya. Di tepi
sungai itu, ia duduk sambil memeluk lututnya dan menangis sekencang-kencangnya.
# # #
Terik
matahari tak terasa membakar kulit para penjudi di kampung Galunggung. Hanya
dengan dua bilah daun pisang, mereka menjadikannya tikar untuk bermain judi di perkebunan
pisang. Mereka bergantian terkekeh saat salah satu dari mereka memenangkan permainan.
Tumpala sang bandar sudah dari tadi kebakaran jenggot. Ia belum pernah
sekalipun memungut uang dari lingkarannya. Apalagi ia sampai menggadaikan
perhiasan istrinya hanya untuk modalnya bermain judi. Tapi tidak bagi Patolla,
hari ini miliknya. Uang di hadapannya kini membumbung layaknya sampah daun yang
siap dibakar. Ia bernasib baik hari ini. Setelah dua bulan lalu motornya ia
jual karena kalah judi, kini ia bisa membeli motor lagi jika ia memenangkan
permainan hari ini. Sudah hampir sebulan Patolla tak pernah kalah bermain judi
dan kini ia sudah bersiap untuk kembali membeli motor. Ia masih sangat bersalah
tidak bisa mengabulkan permintaan Lamunna hari itu. Tapi kini senyumnya mekar
dan cuping hidungnya bergerak-gerak.
Patolla tertawa
sekeras-kerasnya saat ia memenangkan permainan. Perkebunan pisang yang baru
pertama kali menjadi tempatnya bermain kini membawa berkah, yang sebelumnya
hanya menang sedikit saat ia bermain di kebun jagung milik Tumpala. Bagaimana tidak,
ia memecahkan rekor perjudian di kampung Galunggung. Melibas habis uang di
kantong para lawannya. Namun tawanya mengundang kekesalan bagi Tumpala dan
penjudi lainnya. Mereka naik pitam hingga akhirnya saling kode pertanda akan
ada kejadian yang tak disangka oleh Patolla. Benar saja Tumpala langsung
memukul keras perut Patolla diikuti pukulan dari penjudi lainnya, hingga napas Patolla susah ia tarik lagi
karena pukulan yang menghujani perutnya. Patolla terjatuh. Injakan Tumpala dan
penjudi lainnya kini membuatnya tak berdaya. Uangnya dirampas. Mereka berbalik
terkekeh. Kini Tumpala dan penjudi lainnya sibuk membagi uangnya kembali. Patolla
bangkit, balik merampas uangnya. Kemarahan Tumpala benar-benar memuncak. Ia
lalu menusuk dada sebelah kiri Patolla menggunakan badik yang dibawanya. Kini Patolla
benar-benar tidak berdaya. Darahnya mengalir. Ia masih merasakan darahnya
mengucur di tubuhnya. Tak lama matanya mulai tertutup. Hingga akhirnya ia tak
lagi melihat senja yang indah sore itu.
Lamunna tidak
sengaja melihat kejadian itu. Ia berniat ke sungai tempatnya biasa
berkeluh-kesah karena sore itu ibunya memarahinya atas perbuatannya yang
memukul anak tetangga. Anak itu pantas dipukul karena ia mengejek-ngejek
Lamunna sebab bisu. Tapi ibunya menganggap Lamunna keterlaluan memukul anak itu.
Sontak para penjudi itu kaget melihat kedatangan Lamunna dari balik pohon
pisang. Lamunna histeris melihat jasad ayahnya yang berlumuran darah. Tumpala
dan para penjudi itu lalu mengejar Lamunna. Sayang, Lamunna tak sekencang lari
para penjudi sialan itu. Ia tertangkap. Tumpala dan penjudi lainnya makin
terkekeh setelah menangkap Lamunna. Tumpala menyuruh para penjudi lainnya agar
terus memegang Lamunna. Tumpala mulai keringat dingin melihat Patolla masih
terkujur di dekatnya. Ia memikirkan bagaimana cara agar mayat Patolla bisa
lenyap dari hadapannya.
“Buang ke sungai
saja.” Timpal Jumadi, penjudi yang memegang erat Lamunna.
Tumpala dengan
sigapnya membuka semua pakaian yang dikenakan Patolla. Ia mulai mengiris-iris
kulit Patolla mulai dari pipi kemudian lanjut mengiris bagian dada dan
sekitarnya hingga terlihat isi perutnya. Setelah itu Tumpala beralih ke paha
Patolla. Ia mengiris seluruh badan Patolla. Seperti ikan yang disayat terlebih
dahulu sebelum siap untuk digoreng. Penjudi lain yang melihat kini berbalik
arah karena tak sanggup melihat mayat Patolla yang selalu mengeluarkan darah.
Jumadi bertanya mengapa mayatnya mesti disayat. Ternyata Tumpala berpikiran bahwa
jika disayat, mayatnya akan sulit mengapung. Setelah itu, Tumpala lalu
mengambil kulit batang pisang yang kering yang dijadikannya pengikat untuk
mengikat perut Patolla dengan batu besar. Senja mulai lindap. Mayat Patolla kini siap
untuk di buang ke sungai yang tinggal berjarak puluhan meter saja. Tumpala
mengangkat mayatnya sedangkan penjudi lainnya mengangkat batunya. Sampainya di
sungai, pelan-pelan mayat Patolla di ceburkan bersama batu besar yang telah
diikat dengan perutnya. Batu besar secara otomatis tenggelam bersama mayat
Patolla ke dasar sungai yang cukup dalam.
Lamunna tak hentinya
meronta-ronta di genggaman Jumadi. Andai saja ia bisa berbicara serta
berteriak. Pasti sudah kedengaran oleh petani yang menggarap sawah yang ada di
seberang kebun singkong dan pisang ini yang tadi ia lewati. Di benaknya ia
terus menyalahkan Tuhan. Tak adil. Ia menangis sejadi-jadinya. Tangis bercampur
marah. Saat Tumpala kembali dari sungai itu. Ia mendekati Lamunna, gadis belia
yang juga berparas cantik tapi sayang ia bisu. Ia mulai membuka baju Lamunna
hingga tak sehelai benang pun menutupi badannya. Jumadi dan penjudi lainnya
memegang erat kaki dan tangan Lamunna yang sudah dalam posisi terbaring.
Tumpala dan penjudi lainnya kini bergantian menindih Lamunna. Gadis bisu yang
sial. Malang hidupnya. Merasakan mimpi buruk dalam kehidupan nyata.
# # #
Sore itu di rumahnya
yang mulai lapuk oleh serangga-serangga yang melubangi dinding kayunya. Paima
menggendong cucunya yang dari tadi tak henti-hentinya menangis. Ia baru saja
melihat Lamunna berlari ke belakang rumahnya menuju sungai tempatnya biasa berkeluh-kesah.
Saat tiba di perkebunan pisang, kejadian itu kembali menghantui Lamunna. Ia
melihat ayahnya berlumuran darah, meringkuk tak berdaya. Kembali membuka
ingatannya akan perlakuan para penjudi sialan itu, yang menindih badannya yang
masih suci. Tak tahan ia berlama-lama di kebun itu. Ia berlari menuju sungai.
Sungai yang menjadi tempatnya berkeluh-kesah. Tak ada lagi burung yang berkicau
di sekitaran sungai itu. Pas di tepi sungai, ia berdiri layu. Air matanya
luruh. Ia terisak-isak mengingat kenangan bersama ayahnya. Di benaknya ia
berteriak “Mana Tuhanku yang katanya Maha Adil.”
Gowa, 19 Juni 2014
miris yah..
BalasHapusiya :(
Hapus