THR
Setiap
malam sebelum tidur aku selalu berandai-andai tentang kehidupan yang indah
bergelimang harta. Namun sayang, itu hanya bisa kurasakan lewat bunga tidurku. Salah
satu Penderitaan yang telah menyelimutiku selama masa mudaku adalah kurangnya jatah
bermain bersama teman-teman sebayaku. Belum lagi saat malam tiba, aku harus
merawat bapak yang terbaring sakit di bilik peristirahatannya. Sudah hampir
setahun bapak bersama penyakit strokenya.
Sejak lulus SMP aku tidak melanjutkan
sekolah karena kurangnya biaya. Pendapatan ibu sebagai pelayan di rumah makan
hanya bisa buat makan sehari-hari dan biaya sekolah kakak. Apalagi bulan ini
ibu tidak bekerja karena bulan Ramadhan. Itulah yang membuatku kini bekerja
sebagai kuli bangunan. Berharap bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan
obat bapak. Setiap pulang kerja dan melihat bapak masih hidup meski hanya
berbaring dan sulit bergerak, sudah cukup untuk menyimpul kembali senyumku.
Kali ini aku
muncul di rumah menjelang berbuka puasa. Hujan sore ini membuatku pulang
sepetang ini. Kulihat ibu sedang menyiapkan hidangan berbuka. Kedatanganku
mengagetkannya dan dengan cepat ia membasuh kedua matanya.
“Ibu kenapa menangis?” Tanyaku sambil
memegang pundaknya.
“Ibu tidak apa-apa. Itu air hujan yang
menetes ke mata ibu.” Cetusnya dengan senyuman sambil mengelus pundakku.
Memang jika
hujan turun, ada beberapa tetesan air yang berhasil menembus lubang kecil di
atap rumahku karena atapnya hanya dari daun nipa. Aku belum bisa membeli seng
sebagai atap dapurku. Hanya di dapurku sajalah yang belum terpasangi seng. Toh
juga hanya tempat memasak. Yang terpenting ruangan lain di rumahku atapnya
aman.
Aku hendak
ke kamar bersalin baju tapi ibu melarangku.
“Berbukalah dulu, tuh sudah azan. Tidak
baik menunda waktu berbuka.”
Senyum
manis ibu membuat ranum wajahnya terlihat segar. Kali ini ibu memasak makanan
kesukaanku. Kangkung tumis dan tempe kecap. Aku teringat dengan bapak jika ibu
memasak kangkung tumis dan tempe kecap. Bapak juga suka dengan masakan ini.
Andai saja ia bisa bersama kami di meja ini, pasti dia sudah senyum-senyum
sumringah melihat masakan ibu.
Setelah
berbuka puasa dan shalat maghrib, aku dan ibu melantunkan ayat-ayat suci
Al-Qur’an di dekat bapak. Malam yang indah ini pasti membuat bapak senyum
bahagia. Walau tak nampak di wajahnya tapi aku yakin bapak pasti bahagia dan
senyum indah di lubuk hatinya mendengarkan kami. Bapak juga selalu membaca
ayat-ayat suci Al-Qur’an sehabis shalat maghrib saat ia masih sehat dulu. Tapi
sayang, kali ini bapak tidak bisa bersama kami. Kulihat air mata ibu luruh
dengan isakan yang halus. Bacaanku kuhetikan, begitupun ibu. Aku merangkulnya
dengan hangat. Mencoba menenangkannya.
Saat aku pulang dari tempat kerja, aku
belum melihat Dewi, kakakku. Apa dia berbuka puasa di rumah paman? Semoga saja.
Lamunanku membawaku bertanya ke ibu.
“Dewi ke mana bu? Dari tadi aku tidak
melihatnya. Tidak biasanya.” Tanyaku lirih.
Air mata
ibu masih berlinang, layaknya embun yang jatuh dari bunga mawar yang paling indah.
Isakannya mulai menghilang. Kelihatannya ibu mulai siap menjawab pertanyaanku.
“Dewi,
kakakmu. Tadi sore ia meminta THR, katanya untuk belanja pakaian baru. Tapi ibu
tak punya uang. Kakakmu bakalan malu jika ia tak punya pakaian baru sebelum
lebaran, katanya. Tidak hanya itu, sepatu baru pun ia minta. Ia marah dan
langsung keluar rumah dan sampai sekarang dia belum juga pulang. Ibu tidak tahu
harus bagaimana agar bisa mendapatkan uang nak.”
Aku mencoba
menenangkan ibu. Sulit untuk mengabulkan semua permintaan kakakku. Apalagi aku
tidak berpenghasilan banyak. Ibu juga tidak bekerja hampir sebulan ini. Saling
mengeluh tentang penderitaan dan cobaan hanya akan menjadikan kami terpuruk.
Selalu ada jalan keluar dari setiap cobaan yang diberikan Tuhan kepada umatnya.
Dan aku selalu percaya itu.
Kini bapak pasti bersedih mendengar ibu
menangis dan keadaan keluarganya yang tidak berkecukupan. Aku teringat
perkataan bapak saat sehat dulu “Walaupun kita hidup sederhana tapi kita tidak
mencuri, tidak punya utang dan masih banyak lagi orang yang di bawah kita.
Bersyukurlah kita nak.” Air mataku luruh mengingat semua kebersamaan tentang
bapak dulu. Ia setiap hari bekerja sebagai tukang ojek untuk kebutuhan
keluarga. Motor bapak pun dijual saat bapak terkena penyakit itu. Kini tinggal
televisi kusam berukuran kecil yang bertahan hasil kerja bapak dulu.
Terdengar suara pintu rumah terbuka.
Sepertinya kakak sudah pulang. Tapi dia langsung ke kamarnya dan menutup pintu.
Kini malamku kalut. Tapi malam itu ibu memelukku dengan kehangatan.
***
Hari sabtu adalah hari paling bahagia
bagi pekerja bangunan sebab gaji yang akan siap diterima. Dan kabarnya hari ini
pula bosku akan datang ketempat kerja dan membawakan THR untuk semua
pekerjanya. Mudah-mudahan dengan THR ditambah gaji per mingguku cukup untuk
membelikan kebutuhan kakak dan ibu.
Sehabis pulang kerja, aku singgah
membelikan ibu ikan nila kesukaannya. Besok baru aku ajak ibu dan kakak untuk
berbelanja mukenah dan pakaian baru. Kakak sudah sangat ingin membeli pakaian
dan sepatu baru. Berharap uang ini cukup untuk mereka. Ibu juga sudah lama
menginginkan mukenah baru. Ia berharap akan memakai mukenah baru saat lebaran
nanti. Mukenah ibu yang awalnya putih besih, kini agak kekuningan. Aku sedih
setiap melihat ibu memakai mukenahnya. Tapi besok ibu bisa memakai mukenah
baru.
Saat sampai di rumah, aku tidak melihat
ibu begitupun kakakku. Sepertinya ia sedang ke warung membeli minyak goreng.
Sebab tadi subuh saat menggoreng tempe untuk makan sahur, ibu kehabisan minyak
goreng.
Aku duduk di teras rumah yang sempit
ini untuk menunggu ibu. Kursi kayu yang kududuki ini sudah lapuk, bergoyang dan
berbunyi saat aku bergerak. Ah, aku mengingat bapak lagi. Setiap sore sepulang
bekerja, bapak juga selalu duduk di kursi ini. Pernah aku bersama bapak duduk
di teras sambil memandangi pohon mangga yang tumbuh di depan rumah dan berkata
“Cepatlah berbuah pohonku, aku tak sabar lagi ingin mencicipi buahmu” aku
tertawa kecil membuka lembar kisah bersama bapak. Kulihat pohon mangga di depan
rumah sudah mulai berbuah, bapak pasti sangat senang. Dan jika buahnya sudah
matang, aku akan memanjatnya dan mengupasya sendiri untuk bapak.
Belum habis lamunanku tentang bapak,
kulihat kakak berhenti di depan rumah bersama seorang laki-laki. Kakak turun
dari motor itu dengan membawa beberapa bungkusan.
“Kakak dari mana? Siapa laki-laki itu?”
Tanyaku heran.
“Kakak habis belanja dan laki-laki itu
pacar kakak” Timpalnya dengan suara keras lalu masuk ke rumah.
Aku tak heran jika kakak punya pacar,
sebab kakak memang wanita yang cantik dan pasti banyak laki-laki yang hanya
ingin wajah cantiknya. Saat kakak pulang sekolah, aku sudah terbiasa melihat
kakak diantar oleh pacarnya. Tapi aku heran dengan isi bungkusan itu. Kalaupun
itu pakaian dan sepatu baru, di mana kakak mendapatkan uang untuk membeli semua
itu?
Tak lama ibu juga datang dengan membawa
minyak gorengnya. Keherananku membuatku bertanya kepada ibu.
“Ibu dapat uang dari mana untuk
membelikan kebutuhan kakak?”
“Ibu, ibu menggadaikan cincin ibu nak.
Ibu terpaksa. Kakakmu akan meninggalkan rumah jika tidak mengabulkan
permintaannya. Jadi ibu memberikan semua uang hasil gadai cincin ibu.” Lirihnya
dengan sendu.
Mulutku kini gumam, segumam-gumamnya.
Tidak bisa berkata apa-apa. Ibu juga langsung masuk menyiapkan hidangan berbupa
puasa. Ibu memang tidak pernah marah dan selalu ingin melihat anak-anaknya
tersenyum dan bahagia. Tapi kakak sudah berlebihan kepada ibu. Kakak tidak
sadar diri kalau kita keluarga yang sederhana.
Aku masih berdiri dengan layu di teras
rumah. Mencoba merasakan perasaan ibu kini. Ayah pasti sangat marah jika
mengetahui anak perempuannya yang kurang ajar. Impianku untuk membelikan ibu
mukenah kini buyar. Aku tidak tahu antara ingin membelikan ibu mukenah baru
atau ingin menebus cincin ibu.
Aku masuk ke kamar bapak. Melihat bapak
berbaring sakit, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan bapak dan untuk
kesadaran kakak. Aku duduk di dekat bapak yang nampakya kini sedang tidur.
Ingin aku membaritahu bapak tentang kakak. Tapi aku tak mau apabila bapak sedih
mendengarnya. Aku hanya menceritakan tentang gaji dan THR yang kuterima dari
hasil kerjaku. Bapak pasti senang mendengarnya. Aku mengelus dahi hingga
kerambutnya. Kucium kening kusamnya. Kurasakan kulitnya dingin. Aku terbelalak
melihat bapak pucat. Kudekatkan telingaku ke hidung bapak. Bapak tidak
bernapas. Kupegang tangan bapak. Astaga, urat nadi bapak tidak berdenyut. Aku
gelisah, cemas. Tidak percaya dengan keadaan bapak. Kupanggil ibu dengan
teriakanku.
“Ibu, ibu, ibu!”
Air mataku luruh tak terbendung.
Berharap tidak terjadi apa-apa dengan bapak. Ibu melihat dan memeriksa bapak.
“Bapak sudah meninggal nak” Kata ibu
sambil mengusap air matanya.
Gowa, 23 Juli 2014
Tidak ada komentar :
Posting Komentar