Rabu, 23 Juli 2014

Cerpen "THR"

           
THR

            Setiap malam sebelum tidur aku selalu berandai-andai tentang kehidupan yang indah bergelimang harta. Namun sayang, itu hanya bisa kurasakan lewat bunga tidurku. Salah satu Penderitaan yang telah menyelimutiku selama masa mudaku adalah kurangnya jatah bermain bersama teman-teman sebayaku. Belum lagi saat malam tiba, aku harus merawat bapak yang terbaring sakit di bilik peristirahatannya. Sudah hampir setahun bapak bersama penyakit strokenya.
Sejak lulus SMP aku tidak melanjutkan sekolah karena kurangnya biaya. Pendapatan ibu sebagai pelayan di rumah makan hanya bisa buat makan sehari-hari dan biaya sekolah kakak. Apalagi bulan ini ibu tidak bekerja karena bulan Ramadhan. Itulah yang membuatku kini bekerja sebagai kuli bangunan. Berharap bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan kebutuhan obat bapak. Setiap pulang kerja dan melihat bapak masih hidup meski hanya berbaring dan sulit bergerak, sudah cukup untuk menyimpul kembali senyumku.   
            Kali ini aku muncul di rumah menjelang berbuka puasa. Hujan sore ini membuatku pulang sepetang ini. Kulihat ibu sedang menyiapkan hidangan berbuka. Kedatanganku mengagetkannya dan dengan cepat ia membasuh kedua matanya.
“Ibu kenapa menangis?” Tanyaku sambil memegang pundaknya.
“Ibu tidak apa-apa. Itu air hujan yang menetes ke mata ibu.” Cetusnya dengan senyuman sambil mengelus pundakku.
            Memang jika hujan turun, ada beberapa tetesan air yang berhasil menembus lubang kecil di atap rumahku karena atapnya hanya dari daun nipa. Aku belum bisa membeli seng sebagai atap dapurku. Hanya di dapurku sajalah yang belum terpasangi seng. Toh juga hanya tempat memasak. Yang terpenting ruangan lain di rumahku atapnya aman.
            Aku hendak ke kamar bersalin baju tapi ibu melarangku.
“Berbukalah dulu, tuh sudah azan. Tidak baik menunda waktu berbuka.”
            Senyum manis ibu membuat ranum wajahnya terlihat segar. Kali ini ibu memasak makanan kesukaanku. Kangkung tumis dan tempe kecap. Aku teringat dengan bapak jika ibu memasak kangkung tumis dan tempe kecap. Bapak juga suka dengan masakan ini. Andai saja ia bisa bersama kami di meja ini, pasti dia sudah senyum-senyum sumringah melihat masakan ibu.
            Setelah berbuka puasa dan shalat maghrib, aku dan ibu melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an di dekat bapak. Malam yang indah ini pasti membuat bapak senyum bahagia. Walau tak nampak di wajahnya tapi aku yakin bapak pasti bahagia dan senyum indah di lubuk hatinya mendengarkan kami. Bapak juga selalu membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an sehabis shalat maghrib saat ia masih sehat dulu. Tapi sayang, kali ini bapak tidak bisa bersama kami. Kulihat air mata ibu luruh dengan isakan yang halus. Bacaanku kuhetikan, begitupun ibu. Aku merangkulnya dengan hangat. Mencoba menenangkannya.
Saat aku pulang dari tempat kerja, aku belum melihat Dewi, kakakku. Apa dia berbuka puasa di rumah paman? Semoga saja.
Lamunanku membawaku bertanya ke ibu.
“Dewi ke mana bu? Dari tadi aku tidak melihatnya. Tidak biasanya.” Tanyaku lirih.
            Air mata ibu masih berlinang, layaknya embun yang jatuh dari bunga mawar yang paling indah. Isakannya mulai menghilang. Kelihatannya ibu mulai siap menjawab pertanyaanku.
            “Dewi, kakakmu. Tadi sore ia meminta THR, katanya untuk belanja pakaian baru. Tapi ibu tak punya uang. Kakakmu bakalan malu jika ia tak punya pakaian baru sebelum lebaran, katanya. Tidak hanya itu, sepatu baru pun ia minta. Ia marah dan langsung keluar rumah dan sampai sekarang dia belum juga pulang. Ibu tidak tahu harus bagaimana agar bisa mendapatkan uang nak.”
            Aku mencoba menenangkan ibu. Sulit untuk mengabulkan semua permintaan kakakku. Apalagi aku tidak berpenghasilan banyak. Ibu juga tidak bekerja hampir sebulan ini. Saling mengeluh tentang penderitaan dan cobaan hanya akan menjadikan kami terpuruk. Selalu ada jalan keluar dari setiap cobaan yang diberikan Tuhan kepada umatnya. Dan aku selalu percaya itu.
Kini bapak pasti bersedih mendengar ibu menangis dan keadaan keluarganya yang tidak berkecukupan. Aku teringat perkataan bapak saat sehat dulu “Walaupun kita hidup sederhana tapi kita tidak mencuri, tidak punya utang dan masih banyak lagi orang yang di bawah kita. Bersyukurlah kita nak.” Air mataku luruh mengingat semua kebersamaan tentang bapak dulu. Ia setiap hari bekerja sebagai tukang ojek untuk kebutuhan keluarga. Motor bapak pun dijual saat bapak terkena penyakit itu. Kini tinggal televisi kusam berukuran kecil yang bertahan hasil kerja bapak dulu.
Terdengar suara pintu rumah terbuka. Sepertinya kakak sudah pulang. Tapi dia langsung ke kamarnya dan menutup pintu. Kini malamku kalut. Tapi malam itu ibu memelukku dengan kehangatan.
***
Hari sabtu adalah hari paling bahagia bagi pekerja bangunan sebab gaji yang akan siap diterima. Dan kabarnya hari ini pula bosku akan datang ketempat kerja dan membawakan THR untuk semua pekerjanya. Mudah-mudahan dengan THR ditambah gaji per mingguku cukup untuk membelikan kebutuhan kakak dan ibu.
Sehabis pulang kerja, aku singgah membelikan ibu ikan nila kesukaannya. Besok baru aku ajak ibu dan kakak untuk berbelanja mukenah dan pakaian baru. Kakak sudah sangat ingin membeli pakaian dan sepatu baru. Berharap uang ini cukup untuk mereka. Ibu juga sudah lama menginginkan mukenah baru. Ia berharap akan memakai mukenah baru saat lebaran nanti. Mukenah ibu yang awalnya putih besih, kini agak kekuningan. Aku sedih setiap melihat ibu memakai mukenahnya. Tapi besok ibu bisa memakai mukenah baru.
Saat sampai di rumah, aku tidak melihat ibu begitupun kakakku. Sepertinya ia sedang ke warung membeli minyak goreng. Sebab tadi subuh saat menggoreng tempe untuk makan sahur, ibu kehabisan minyak goreng.
Aku duduk di teras rumah yang sempit ini untuk menunggu ibu. Kursi kayu yang kududuki ini sudah lapuk, bergoyang dan berbunyi saat aku bergerak. Ah, aku mengingat bapak lagi. Setiap sore sepulang bekerja, bapak juga selalu duduk di kursi ini. Pernah aku bersama bapak duduk di teras sambil memandangi pohon mangga yang tumbuh di depan rumah dan berkata “Cepatlah berbuah pohonku, aku tak sabar lagi ingin mencicipi buahmu” aku tertawa kecil membuka lembar kisah bersama bapak. Kulihat pohon mangga di depan rumah sudah mulai berbuah, bapak pasti sangat senang. Dan jika buahnya sudah matang, aku akan memanjatnya dan mengupasya sendiri untuk bapak.
Belum habis lamunanku tentang bapak, kulihat kakak berhenti di depan rumah bersama seorang laki-laki. Kakak turun dari motor itu dengan membawa beberapa bungkusan.
“Kakak dari mana? Siapa laki-laki itu?” Tanyaku heran.
“Kakak habis belanja dan laki-laki itu pacar kakak” Timpalnya dengan suara keras lalu masuk ke rumah.
Aku tak heran jika kakak punya pacar, sebab kakak memang wanita yang cantik dan pasti banyak laki-laki yang hanya ingin wajah cantiknya. Saat kakak pulang sekolah, aku sudah terbiasa melihat kakak diantar oleh pacarnya. Tapi aku heran dengan isi bungkusan itu. Kalaupun itu pakaian dan sepatu baru, di mana kakak mendapatkan uang untuk membeli semua itu?
Tak lama ibu juga datang dengan membawa minyak gorengnya. Keherananku membuatku bertanya kepada ibu.
“Ibu dapat uang dari mana untuk membelikan kebutuhan kakak?”
“Ibu, ibu menggadaikan cincin ibu nak. Ibu terpaksa. Kakakmu akan meninggalkan rumah jika tidak mengabulkan permintaannya. Jadi ibu memberikan semua uang hasil gadai cincin ibu.” Lirihnya dengan sendu.
Mulutku kini gumam, segumam-gumamnya. Tidak bisa berkata apa-apa. Ibu juga langsung masuk menyiapkan hidangan berbupa puasa. Ibu memang tidak pernah marah dan selalu ingin melihat anak-anaknya tersenyum dan bahagia. Tapi kakak sudah berlebihan kepada ibu. Kakak tidak sadar diri kalau kita keluarga yang sederhana.
Aku masih berdiri dengan layu di teras rumah. Mencoba merasakan perasaan ibu kini. Ayah pasti sangat marah jika mengetahui anak perempuannya yang kurang ajar. Impianku untuk membelikan ibu mukenah kini buyar. Aku tidak tahu antara ingin membelikan ibu mukenah baru atau ingin menebus cincin ibu.
Aku masuk ke kamar bapak. Melihat bapak berbaring sakit, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan bapak dan untuk kesadaran kakak. Aku duduk di dekat bapak yang nampakya kini sedang tidur. Ingin aku membaritahu bapak tentang kakak. Tapi aku tak mau apabila bapak sedih mendengarnya. Aku hanya menceritakan tentang gaji dan THR yang kuterima dari hasil kerjaku. Bapak pasti senang mendengarnya. Aku mengelus dahi hingga kerambutnya. Kucium kening kusamnya. Kurasakan kulitnya dingin. Aku terbelalak melihat bapak pucat. Kudekatkan telingaku ke hidung bapak. Bapak tidak bernapas. Kupegang tangan bapak. Astaga, urat nadi bapak tidak berdenyut. Aku gelisah, cemas. Tidak percaya dengan keadaan bapak. Kupanggil ibu dengan teriakanku.
“Ibu, ibu, ibu!”
Air mataku luruh tak terbendung. Berharap tidak terjadi apa-apa dengan bapak. Ibu melihat dan memeriksa bapak.
“Bapak sudah meninggal nak” Kata ibu sambil mengusap air matanya.




 Gowa, 23 Juli 2014

Tidak ada komentar :

Posting Komentar