LINANGAN AIR MATA
Tersenyumlah. Menangislah. Ketika
tangan ini tak lagi bisa menggenggam tanganmu. Aku tahu kau marah, bingung,
sedih. Tidak. Kau tak usah marah, bingung, sedih. Kau harusnya bahagia. Relakan
aku pergi atas nama cinta. Aku mencintaimu tapi keadaan yang tak mencintai
kita. Aku menyayangimu tapi di sekeliling tak menyayangi kita. Kita tidak bisa
bersatu seperti apa yang kita impi-impikan selama ini. Kita tidak bisa bersama
lagi. Berat. Memang berat. Anggap ini pelajaran hati yang bisa kuatkan diri.
Menangislah, saat hati sudah tak bisa berkata sampai air mata yang berlinang
mewakili kata. Selamat tinggal masa lalu.
Berat rasanya mengakhiri hubungan
yang sudah kita jalani selama dua tahun. Suka dan duka sudah kita lewati. Termasuk
duka. Duka yang selama ini kita jalani. Berjuang untuk mempertahankan hubungan
ini. Walau di sekeliling kita, di sekitar kita tak juga ada setitik cahaya di
hatinya untuk menerima kita bersama. Kuharap jika kau sempat kembali ke sini,
aku sangat-sangat ingin memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Aku rindu. Rindu
dipelukmu. Sudah lima bulan kepergianmu, tapi aku sudah putuskan untuk
menyudahi hubungan ini. Percuma. Sungguh percuma. Apalagi keberadaanmu tak lagi
dekat.
Oh ya. Aku masih menyimpan semua
barang tentangmu, tentang kenangan kita yang selama ini menemani hari-hariku.
Aku masih memakai jam tangan PUMA pemberianmu. Saat aku melihat jam itu, aku
langsung teringat tentangmu. Kalau kamu? Apakah kau masih menyimpan lukisan
itu? Lukisan yang waktu itu aku lukis di anjungan pantai Losari. Kuharap kau
masih menyimpannya. Kau berkata saat itu bahwa lukisan yang kulukis tentang
senja yang sangat indah di pantai itu, saat kau duduk dengan baju pink
kesukaanmu dengan rok selutut bermotif bunga warna-warni itu adalah lukisan
yang paling indah sedunia. Kau ingat saat itu? Tentu saja kau mengingatnya,
karena waktu itu aku melukismu saat senja muncul di langit pantai Losari.
Apakah kau menangis? Maafkan aku.
Aku sendiri menangis menulis pesan ini. Aku cengeng yah? Saat senja menyapa,
aku menangis. Tentang kenangan kita saat senja. Aku tak tahu sudah berapa kali
kita melihat senja bersama. Senja yang waktunya sekilat pesawat saat lepas
landas. Mungkin senja itu singkat karena senja itu berharga dan indah sekali.
Maka dari itu untuk yang berharga kita harus mengejarnya. Dan kau masih ingat
tentang senja yang PHP?. Waktu itu kita menunggu senja tapi tak kunjung datang.
Kita berdua menunggu sampai kehujanan, sampai malam tiba. Senja pemberi harapan
palsu ketika itu. Gila kan? Sudah tahu mendung, tapi kau ingin sekali ke pantai melihat senja. Tapi aku
mengerti karena kau sangat mencintai senja.
Tentang senja terakhir kita di pantai
Akarena sebelum kau memutuskan untuk kuliah di Bandung. Saat itu senja terakhir
kita yang penuh dengan tangis. Tentang hubungan kita yang tak direstui. Ketika
itu aku melepasmu dengan pelukan. Maaf, aku menangis lagi. Cinta ini sulit
kulepaskan. Tapi inilah yang sebaiknya. Baik-baik di sana. Semoga kau bahagia.
Mungkin ini pesan terakhirku. Hey. Jangan menangis…
Salam rindu putri cantik
Suara pedagang asongan yang
menyodorkan Tissue ke Kila menyadarkan
lamunannya saat setelah membaca E-mail dari Kesa. Namun Kila menolak Tissue tersebut. Linangan air matanya
sudah tak terhitung saat membaca E-mail dari Kesa. Seorang lelaki yang sangat
ia cinta dan banggakan telah mengiris-iris hatinya yang sedang mekar-mekarnya
ingin cepat kembali dan bertemu Kesa di Makassar. Hati yang sudah tertutup oleh
laki-laki lain. Hati yang sudah terisi oleh mutiara cerah kini hancur hilang
sendiri karenanya. Semua hilang, hilang ditiup angin yang mewakili pesannya. Linangan
air mata terus melewati pipinya yang cerah lembab. Linangan yang mewakili kata,
mulut yang sudah sedari tadi gumam, kini segumam-gumamnya.
Di halte depan kampusnya dia masih
saja meratapinya. Masih saja berlinang air mata. Masih saja diam dan tak
berkata-kata. Hancur. Hancur kini hatinya. Absurd, tidak percaya Kesa mengakhiri
hubungannya yang sudah lama dia pertahankan dengan susah payah, kini berhembus melebur
dengan cepat. Kini dia berdiri, berjalan, masih dengan linangan air matanya. Berjalan
tanpa terbeliak sama sekali dengan suara di sekitar yang begitu nyaring. Berjalan
sampai tiba saatnya dia tertabrak oleh mobil beroda enam. Kini dia hanya bisa
menunggu penjelasan Kesa di dunia lain. Berharap bertemu dan bisa memeluknya
lagi.
Gowa, 12 Juli 2013
Tidak ada komentar :
Posting Komentar