TRAGEDI
MICOLI
Langit makin mendung, angin semakin
kencang. Kapal mini yang kami tumpangi bergoyang. Kulihat Finy ketakutan sambil
memegang tangan Alif. Nisa pun kurangkulnya dengan erat. Terlihat Bobi
ketakutan sambil menahkodahi kapal ini.
Pulau semakin
dekat, angin masih kencang. Aku belum bisa bernafas lega, tapi tangan ini
tak lepas merangkul kekasihku tercinta, begitupun dengan Alif yang kali ini
terlihat memeluk Finynya tersayang.
Kapal yang hampir
membunuh kami dengan cuaca yang sangat ekstrim, akhirnya bersandar. Kami sudah
sampai di Pulau Micoli pulau yang sangat indah nan menakjubkan. Pasir putih
menyambut kedatangan kami, dengan pemandangan senja yang sangat indah di pulau
ini, seakan aku ingin berlama-lama di sini. Tak salah kami menyewa pulau ini
dengan mahal.
Terlihat seorang
perempuan mendatangi kami. Dia langsung menyuruh kami mengikutinya. Aku heran
dengan perempuan ini, tanpa memperkenalkan dirinya dia langsung menyuruh kami
mengikutinya. Tapi sudahlah Aku nurut saja. Lagi pula punggungnya tidak
berlubang dan kakinya menyentuh tanah. Jadi tidak masalah.
***
Ternyata dia membawa kami ke villa.
“ini villa yang
akan kalian tempati selama lima hari” kata perempuan itu.
“kok anda tau
kalau kami di sini cuma lima hari?” kataku.
“ibu Hilda sudah menelponku tadi pagi,
katanya akan ada lima orang yang berlibur di pulaunya ini. Kalau kalian perlu
bantuan ke rumah belakang saja, saya tinggal di sana”
Habis kata,
perempuan itu lalu pergi tanpa pamit. Masih saja aku memperhatikan punggung dan
kakinya seolah aku mengira dia hantu. Tapi ternyata perempuan itu suruhan dari
ibu Hilda yang selama ini mengurusi pulaunya. Terlihat aneh juga perempuan itu,
yang tanpa memperkenalkan diri dan pergi pun tanpa pamit.
***
Hari semakin
sore, kami sibuk membersihkan villa yang sedikit berdebu ini. Mungkin karena
villa ini lama tak ditempati orang lain yang juga berlibur di tempat ini.
Terdapat tiga kamar tidur dan sedangkan kami di sini berlima.
“bagaimana nih
kamarnya cuma tiga, sedangkan kita berlima” kata Bobi.
“tidak masalah,
kamu di kamar belakang saja Bob? Aku dan Finy di kamar depan, dan kamar satunya
biar Aza dan Nisa” kata Alif.
“waduh, tidak
bisa gitu dong, kalian kan belum menikah, kok satu kamar berdua?”
“tidak apa, kami
kan pacaran jadi wajarlah” kata Finy.
“iya nih, kamu di
kamar belakang saja Bob, biar kami di kamar depan” kataku.
“enak di kalian
dong, lah aku, tidur sendirian”
“sudahlah, nikmati
saja, hahaha” kata Nisa.
Barang
masing-masing dibawa ke kamar. Di sisi lain, kamar di villa ini tak bisa
dikunci. Selain itu kamar ini tak begitu luas tapi cukup untuk aku dan Nisa
tidur berdua. Kulihat Nisa menaruh pistol di meja samping kamar. Aku heran,
tapi katanya itu buat jaga-jaga.
Di luar suasana
lagi hujan. Kami keluar, ke ruang tengah sembari menonton televisi. Finy dan
Alif terlihat bermesraan di dekatku. Di sisi lain Bobi membakar rokoknya dengan
mimik wajah yang tak tau berbentuk apa, kelihatannya lagi marah.
Waktu menunjukkan
pukul 10.00, Nisa terlihat ke dapur, Finy dan Alif ke kamar duluan, katanya dia
sudah ingin istirahat, dan Bobi diam saja tak pernah bicara.
“kamu kenapa bob? Dari tadi diam saja?” kataku
“ngga’ papa” kata Bobi.
Aku heran kenapa
Bobi seperti ini, biasanya dia tidak seperti ini. Mungkin karena dia disuruh
tidur sendiri, jadi dia seperti itu.
Nisa kembali ke ruang tengah dengan membawa teh hangat.
“loh, Finy dan Alif kemana? Aku sudah buatkan teh hangat nih buat kalian”
“dia ke kamar duluan, katanya ingin istirahat”
“waduh, sudah dibuatkan teh nih, masa ngga’ diminum”
“kalo gitu, panggil mereka di kamarnya, mungkin dia belum tidur”
Bobi ke kamar
Finy dan Alif untuk memanggil mereka minum teh hangat bersama. Terdengar Bobi
langsung membuka pintu kamar Finy dan Alif.
Di ruang tengah
aku dan Nisa ngobrol tentang suasana di pulau ini. Pulau ini memang indah dan
menabjubkan, tapi tidak dengan villa ini yang masih kurang baik. Pintu kamarnya
saja tak bisa dikunci. Begitu pula pendapat Nisa tentang pulau dan villa ini.
Bobi datang
dengan wajah yang kelihatan lagi marah, menyusul Finy dan Alif yang datang
sepuluh menit kemudian. Kami pun menikmati teh hangat sembari menonton
televisi. Tapi Bobi hanya dengan sekali minum dan langsung ke kamarnya. Aku
masih heran dengan Bobi, kenapa dia seperti ini, tidak biasanya.
***
Esok harinya kami
berenang di pantai. Terlihat semuanya senang dengan liburan ini. Bobi pun
begitu, terlihat senang dan tak lagi seperti semalam. Bobi yang tinggi besar
berotot terlihat berseri-seri saat berenang. Pantai seakan membius mata dan
menyejukkan perasaan yang sebelumnya tak karuan dengan masalahnya. begitupun
masalah villanya yang kurang nyaman. Namun pantainya menutupi semua kekurangan
itu. Aku terbeliak sambil berenang. Sungguh indah pantai ini.
Aku dan Nisa
sudah merasa kedinginan karena asiknya berenang. Aku dan Nisa ke villa duluan.
Sedangkan Boby, Finy dan Alif masih berenang.
Saat setelah
ganti baju dan meneguk jus melon, kudengar suara Finy minta tolong. Bergegas
aku dan Nisa berlari kepantai yang jaraknya lumayan jauh. Kulihat Alif dan Finy
sudah mengambang di pantai, kudekatinya dan langsung aku dan Nisa menolongnya
dengan memberi napas buatan. Finy dan Alif tak sadarkan diri, kupegang denyut
nadinya, ternyata dia sudah meninggal. Sedangkan Bobi baru saja sampai dan
mempertanyakan keadaan Finy dan Alif.
“mereka sudah
meninggal” Kata Nisa sambil menangis histeris.
“kamu dari mana?
Kenapa Alif dan Finy seperti ini?”
“aku tadi
jalan-jalan kebelakang pantai, dan kudengar suara Finy minta tolong” kata Bobi.
“kenapa bisa
seperti ini” kataku sambil berteriak.
Suasana pantai
pun berubah menjadi tangis. Di bibir pantai kulihat sebuah gelang yang putus.
Kuhampiri gelang itu dan kuambilnya. Mayat Alif dan Fini pun kubawa ke rumah
perempuan yang mengurusi pantai ini. Perempuan itu terkejut melihat Finy dan
Alif sudah tak bernyawa lagi. Dia segera menelepon polisi, dan berharap mayat
Finy dan Alif diotopsi.
Satu jam kemudian
polisi datang dan mempertanyakan kasus ini. Kasus ini pun kujelaskan dengan
rasa amarahku, sedang polisi mencatat semua penjelasanku. Polisi pun lalu
membawa mayat Finy dan Alif untuk diotopsi.
***
Malamnya aku dan Nisa terus bertanya-tanya atas kematian Alif dan finy, Alif pintar berenang, tetapi kenapa dia bisa seperti ini. Bobi sudah dari tadi tidak keluar kamar.
“aku curiga dengan
perempuan itu” Kata Nisa.
“jangan menuduh
sembarangan Nis, kita harus cari tahu dulu”
“tapi siapa lagi kalau bukan perempuan itu, tampangnya saja sudah misterius dan
menakutkan, dan aku tidak percaya kalau Finy dan Alif meninggal karena
tenggelam dan jelas-jelas kalau Alif itu pintar berenang.”
Aku pun berpikir
keras untuk menyelesaikan kasus ini, apakah ini murni kecelakaan, atau
pembunuhan.
“Oh iya aku tadi
menemukan gelang yang dihempas oleh ombak di bibir pantai, mungkin itu pentunjuk”
kataku dengan suara keras.
“kalau begitu
sini aku lihat gelang itu”
Aku segera
mengambil gelang itu di kantong celanaku dan kuperlihatkan kepada Nisa.
“Astaga, ini kan
gelangnya Bobi? Gelangnya pun sudah putus, jangan-jangan dia pelakunya” kata
Nisa dengan kagetnya.
Jangan-jangan ada
pentunjuk dari gelang Bobi yang putus. Lagi-lagi aku berpikir keras. Tidak
mungkin juga Bobi yang melakukannya, kami kan bersahabat sejak kecil dan
jelas-jelas dia tidak ada di tempat saat aku dan Nisa menolong Finy dan Alif,
Bobi pun datang belakangan dan katanya dia dari jalan-jalan di belakang pantai.
Tapi aku berfikir, kenapa gelang Bobi putus dan gelangnya berada tidak jauh
dari mayat Finy dan Alif.
Terdengar Suara
pintu Bobi dengan kerasnya.
“awas Za…..” kata
Nisa dengan terkejut.
“Apa-apaan kamu
Bob?” dengan pisau di tangannya dan berusaha menusukku, tapi dengan lincahnya
aku menghindar dan memegang tangannya.
Nisa pun lari ke
kamar, dan tangan Bobi kupegang dengan sekencang-kencangnya.
“Nisa jangan”
kataku sambil berteriak.
Nisa menembak dau
kaki Bobi dan Bobi pun terjatuh sambil berteriak kesakitan. Aku dan Nisa heran
kenapa Bobi melakukan semua ini.
“kamu kenapa
Bob?” kata Nisa sambil menangis.
“apakah kamu yang
membunuh Finy dan Alif?”
“iya, aku yang
membunuh mereka, kenapa? Heran?”
“kenapa kamu
lakukan ini semua?” kataku.
“aku cemburu
dengan mereka, Alif sudah merebut Finy dariku. Aku ditolak mentah-mentah sama
Finy, dan saat Alif nyatakan cinta kepada Finy, malah Finy menerima cinta Alif.
Aku cemburu dan dendam kepada dia. Dan satu lagi, saat aku memanggil Finy dan
Alif di kamarnya untuk bergabung minum teh bersama kita, aku melihat mereka
berdua telanjang di kamarnya sambil berbuat intim. Sepintas mereka terkejut dan
lalu buru-buru mengenakan bajunya. Dan itu kenapa mereka terlambat dan lama
bergabung dengan kita untuk minum teh, sedangkan aku sudah tiba duluan, karena
mereka memasang bajunya terlebih dahulu.
“lalu kenapa Finy
dan Alif bisa meninggal, sedangkan kamu tidak berada di sana?” kataku sambil
emosi.
“itu cuma
akal-akalanku saja, disaat kami berenang bersama, aku tenggelamkan Alif
terlebih dahulu, dan Finy berteriak minta tolong. Setelah Alif sudah mati,
giliran Finy yang kutenggelamkan. Saat mereka sudah mati, aku langsung lari
menuju belakang pantai. Saat aku melihat kalian mendekati dan menolong Finy dan
Alif, aku pun kesana dan terlihat seolah-olah aku tidak berada di pantai itu.
“Lalu kenapa kamu
ingin membunuh Aza?” kata Nisa sambil menangis.
“saat kalian
mengobrol tentang kematian Finy dan Alif, aku mendengarkan kalian di kamarku.
Dan saat kalian sudah tahu kalau aku pelaku dari kematian Finy dan Alif, aku
berencana untuk membunuh kalian juga, karena aku pasti akan ditangkap dan di
penjara karena kalian sudah tahu bahwa aku pelakunya”.
“sayangnya kamu
tidak berhasil membunuh kami. Cepat telepon polisi Nis, sekarang kita sudah
tahu siapa pelakunya dan kita akan memenjarakan sahabat kita si pembunuh ini”
kataku sambil marah.
Gowa, 23 November 2012
Tidak ada komentar :
Posting Komentar