Senin, 08 Juli 2013

Cerpen 2012 "TRAGEDI MICOLI"



TRAGEDI MICOLI


Langit makin mendung, angin semakin kencang. Kapal mini yang kami tumpangi bergoyang. Kulihat Finy ketakutan sambil memegang tangan Alif. Nisa pun kurangkulnya dengan erat. Terlihat Bobi ketakutan sambil menahkodahi kapal ini.
Pulau semakin dekat, angin masih kencang.  Aku belum bisa bernafas lega, tapi tangan ini tak lepas merangkul kekasihku tercinta, begitupun dengan Alif yang kali ini terlihat memeluk Finynya tersayang.
Kapal yang hampir membunuh kami dengan cuaca yang sangat ekstrim, akhirnya bersandar. Kami sudah sampai di Pulau Micoli pulau yang sangat indah nan menakjubkan. Pasir putih menyambut kedatangan kami, dengan pemandangan senja yang sangat indah di pulau ini, seakan aku ingin berlama-lama di sini. Tak salah kami menyewa pulau ini dengan mahal.
Terlihat seorang perempuan mendatangi kami. Dia langsung menyuruh kami mengikutinya. Aku heran dengan perempuan ini, tanpa memperkenalkan dirinya dia langsung menyuruh kami mengikutinya. Tapi sudahlah Aku nurut saja. Lagi pula punggungnya tidak berlubang dan kakinya menyentuh tanah. Jadi tidak masalah.

***

            Ternyata dia membawa kami ke villa.
“ini villa yang akan kalian tempati selama lima hari” kata perempuan itu.
“kok anda tau kalau kami di sini cuma lima hari?” kataku.
“ibu Hilda sudah menelponku tadi pagi, katanya akan ada lima orang yang berlibur di pulaunya ini. Kalau kalian perlu bantuan ke rumah belakang saja, saya tinggal di sana”
Habis kata, perempuan itu lalu pergi tanpa pamit. Masih saja aku memperhatikan punggung dan kakinya seolah aku mengira dia hantu. Tapi ternyata perempuan itu suruhan dari ibu Hilda yang selama ini mengurusi pulaunya. Terlihat aneh juga perempuan itu, yang tanpa memperkenalkan diri dan pergi pun tanpa pamit.

***
Hari semakin sore, kami sibuk membersihkan villa yang sedikit berdebu ini. Mungkin karena villa ini lama tak ditempati orang lain yang juga berlibur di tempat ini. Terdapat tiga kamar tidur dan sedangkan kami di sini berlima.
“bagaimana nih kamarnya cuma tiga, sedangkan kita berlima” kata Bobi.
“tidak masalah, kamu di kamar belakang saja Bob? Aku dan Finy di kamar depan, dan kamar satunya biar Aza dan Nisa” kata Alif.
“waduh, tidak bisa gitu dong, kalian kan belum menikah, kok satu kamar berdua?”
“tidak apa, kami kan pacaran jadi wajarlah” kata Finy.
“iya nih, kamu di kamar belakang saja Bob, biar kami di kamar depan” kataku.
“enak di kalian dong, lah aku, tidur sendirian”
“sudahlah, nikmati saja, hahaha” kata Nisa.
Barang masing-masing dibawa ke kamar. Di sisi lain, kamar di villa ini tak bisa dikunci. Selain itu kamar ini tak begitu luas tapi cukup untuk aku dan Nisa tidur berdua. Kulihat Nisa menaruh pistol di meja samping kamar. Aku heran, tapi katanya itu buat jaga-jaga.
Di luar suasana lagi hujan. Kami keluar, ke ruang tengah sembari menonton televisi. Finy dan Alif terlihat bermesraan di dekatku. Di sisi lain Bobi membakar rokoknya dengan mimik wajah yang tak tau berbentuk apa, kelihatannya lagi marah.
Waktu menunjukkan pukul 10.00, Nisa terlihat ke dapur, Finy dan Alif ke kamar duluan, katanya dia sudah ingin istirahat, dan Bobi diam saja tak pernah bicara.
            “kamu kenapa bob? Dari tadi diam saja?” kataku
            “ngga’ papa”  kata Bobi.
Aku heran kenapa Bobi seperti ini, biasanya dia tidak seperti ini. Mungkin karena dia disuruh tidur sendiri, jadi dia seperti itu.
            Nisa kembali ke ruang tengah dengan membawa teh hangat.
            “loh, Finy dan Alif kemana? Aku sudah buatkan teh hangat nih buat kalian”
            “dia ke kamar duluan, katanya ingin istirahat”
            “waduh, sudah dibuatkan teh nih, masa ngga’ diminum”
            “kalo gitu, panggil mereka di kamarnya, mungkin dia belum tidur”
Bobi ke kamar Finy dan Alif untuk memanggil mereka minum teh hangat bersama. Terdengar Bobi langsung membuka pintu kamar Finy dan Alif.
Di ruang tengah aku dan Nisa ngobrol tentang suasana di pulau ini. Pulau ini memang indah dan menabjubkan, tapi tidak dengan villa ini yang masih kurang baik. Pintu kamarnya saja tak bisa dikunci. Begitu pula pendapat Nisa tentang pulau dan villa ini.
Bobi datang dengan wajah yang kelihatan lagi marah, menyusul Finy dan Alif yang datang sepuluh menit kemudian. Kami pun menikmati teh  hangat sembari menonton televisi. Tapi Bobi hanya dengan sekali minum dan langsung ke kamarnya. Aku masih heran dengan Bobi, kenapa dia seperti ini, tidak biasanya.

***

Esok harinya kami berenang di pantai. Terlihat semuanya senang dengan liburan ini. Bobi pun begitu, terlihat senang dan tak lagi seperti semalam. Bobi yang tinggi besar berotot terlihat berseri-seri saat berenang. Pantai seakan membius mata dan menyejukkan perasaan yang sebelumnya tak karuan dengan masalahnya. begitupun masalah villanya yang kurang nyaman. Namun pantainya menutupi semua kekurangan itu. Aku terbeliak sambil berenang. Sungguh indah pantai ini.
Aku dan Nisa sudah merasa kedinginan karena asiknya berenang. Aku dan Nisa ke villa duluan. Sedangkan Boby, Finy dan Alif masih berenang. 
Saat setelah ganti baju dan meneguk jus melon, kudengar suara Finy minta tolong. Bergegas aku dan Nisa berlari kepantai yang jaraknya lumayan jauh. Kulihat Alif dan Finy sudah mengambang di pantai, kudekatinya dan langsung aku dan Nisa menolongnya dengan memberi napas buatan. Finy dan Alif tak sadarkan diri, kupegang denyut nadinya, ternyata dia sudah meninggal. Sedangkan Bobi baru saja sampai dan mempertanyakan keadaan Finy dan Alif.
“mereka sudah meninggal” Kata Nisa sambil menangis histeris.
“kamu dari mana? Kenapa Alif dan Finy seperti ini?”
“aku tadi jalan-jalan kebelakang pantai, dan kudengar suara Finy minta tolong” kata Bobi.
“kenapa bisa seperti ini” kataku sambil berteriak.
Suasana pantai pun berubah menjadi tangis. Di bibir pantai kulihat sebuah gelang yang putus. Kuhampiri gelang itu dan kuambilnya. Mayat Alif dan Fini pun kubawa ke rumah perempuan yang mengurusi pantai ini. Perempuan itu terkejut melihat Finy dan Alif sudah tak bernyawa lagi. Dia segera menelepon polisi, dan berharap mayat Finy dan Alif diotopsi.
Satu jam kemudian polisi datang dan mempertanyakan kasus ini. Kasus ini pun kujelaskan dengan rasa amarahku, sedang polisi mencatat semua penjelasanku. Polisi pun lalu membawa mayat Finy dan Alif untuk diotopsi.

***

             Malamnya aku dan Nisa terus bertanya-tanya atas kematian Alif dan finy, Alif pintar berenang, tetapi kenapa dia bisa seperti ini. Bobi sudah dari tadi tidak keluar kamar.
“aku curiga dengan perempuan itu” Kata Nisa.
“jangan menuduh sembarangan Nis, kita harus cari tahu dulu”  
            “tapi siapa lagi kalau bukan perempuan itu, tampangnya saja sudah misterius dan menakutkan, dan aku tidak percaya kalau Finy dan Alif meninggal karena tenggelam dan jelas-jelas kalau Alif itu pintar berenang.”
Aku pun berpikir keras untuk menyelesaikan kasus ini, apakah ini murni kecelakaan, atau pembunuhan.
“Oh iya aku tadi menemukan gelang yang dihempas oleh ombak di bibir pantai, mungkin itu pentunjuk” kataku dengan suara keras.
“kalau begitu sini aku lihat gelang itu”
Aku segera mengambil gelang itu di kantong celanaku dan kuperlihatkan kepada Nisa.
“Astaga, ini kan gelangnya Bobi? Gelangnya pun sudah putus, jangan-jangan dia pelakunya” kata Nisa dengan kagetnya.
Jangan-jangan ada pentunjuk dari gelang Bobi yang putus. Lagi-lagi aku berpikir keras. Tidak mungkin juga Bobi yang melakukannya, kami kan bersahabat sejak kecil dan jelas-jelas dia tidak ada di tempat saat aku dan Nisa menolong Finy dan Alif, Bobi pun datang belakangan dan katanya dia dari jalan-jalan di belakang pantai. Tapi aku berfikir, kenapa gelang Bobi putus dan gelangnya berada tidak jauh dari mayat Finy dan Alif.
Terdengar Suara pintu Bobi dengan kerasnya.
“awas Za…..” kata Nisa dengan terkejut.
“Apa-apaan kamu Bob?” dengan pisau di tangannya dan berusaha menusukku, tapi dengan lincahnya aku menghindar dan memegang tangannya.
Nisa pun lari ke kamar, dan tangan Bobi kupegang dengan sekencang-kencangnya.
“Nisa jangan” kataku sambil berteriak.
Nisa menembak dau kaki Bobi dan Bobi pun terjatuh sambil berteriak kesakitan. Aku dan Nisa heran kenapa Bobi melakukan semua ini.
“kamu kenapa Bob?” kata Nisa sambil menangis.
“apakah kamu yang membunuh Finy dan Alif?”
“iya, aku yang membunuh mereka, kenapa? Heran?”
“kenapa kamu lakukan ini semua?” kataku.
“aku cemburu dengan mereka, Alif sudah merebut Finy dariku. Aku ditolak mentah-mentah sama Finy, dan saat Alif nyatakan cinta kepada Finy, malah Finy menerima cinta Alif. Aku cemburu dan dendam kepada dia. Dan satu lagi, saat aku memanggil Finy dan Alif di kamarnya untuk bergabung minum teh bersama kita, aku melihat mereka berdua telanjang di kamarnya sambil berbuat intim. Sepintas mereka terkejut dan lalu buru-buru mengenakan bajunya. Dan itu kenapa mereka terlambat dan lama bergabung dengan kita untuk minum teh, sedangkan aku sudah tiba duluan, karena mereka memasang bajunya terlebih dahulu.
“lalu kenapa Finy dan Alif bisa meninggal, sedangkan kamu tidak berada di sana?” kataku sambil emosi.
“itu cuma akal-akalanku saja, disaat kami berenang bersama, aku tenggelamkan Alif terlebih dahulu, dan Finy berteriak minta tolong. Setelah Alif sudah mati, giliran Finy yang kutenggelamkan. Saat mereka sudah mati, aku langsung lari menuju belakang pantai. Saat aku melihat kalian mendekati dan menolong Finy dan Alif, aku pun kesana dan terlihat seolah-olah aku tidak berada di pantai itu.
“Lalu kenapa kamu ingin membunuh Aza?” kata Nisa sambil menangis.
“saat kalian mengobrol tentang kematian Finy dan Alif, aku mendengarkan kalian di kamarku. Dan saat kalian sudah tahu kalau aku pelaku dari kematian Finy dan Alif, aku berencana untuk membunuh kalian juga, karena aku pasti akan ditangkap dan di penjara karena kalian sudah tahu bahwa aku pelakunya”.
“sayangnya kamu tidak berhasil membunuh kami. Cepat telepon polisi Nis, sekarang kita sudah tahu siapa pelakunya dan kita akan memenjarakan sahabat kita si pembunuh ini” kataku sambil marah.


Gowa, 23 November 2012

Tidak ada komentar :

Posting Komentar